Thursday, July 28, 2005

Salinan Peraturan Mendiknas Tentang Buku Teks Pelajaran

SALINAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2005

TENTANG

BUKU TEKS PELAJARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang :

bahwa buku teks pelajaran berperan penting dan strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah, sehingga perlu ada kebijakan pemerintah mengenai buku teks pelajaran bagi peserta didik;
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Buku Teks Pelajaran;

Mengingat

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496);
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Kabinet Indonesia Bersatu;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENTANG BUKU TEKS PELAJARAN.

Pasal 1

Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
Pasal 2

1) Buku teks pelajaran digunakan sebagai acuan wajib oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
2) Selain buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 guru menggunakan buku panduan pendidik dan dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran.
3) Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik, guru dapat menganjurkan peserta didik untuk membaca buku pengayaan dan buku referensi.


Pasal 3

1) Buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
2) Buku teks pelajaran untuk mata pelajaran muatan lokal yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan olehh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada standar buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4


Pada kulit buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), penerbit wajib mencantumkan label harga.


Pasal 5


1) Buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1.
2) Buku teks pelajaran bermuatan lokal yang akan digunakan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah dari buku-buku teks pelajaran bermuatan lokal yang telah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2.
3) Rapat guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 menetapkan buku-buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan, tidak berasal dari satu penerbit.


Pasal 6

1) Dalam hal Menteri belum menetapkan buku teks pelajaran tertentu, rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah dapat memilih buku-buku yang ada, dengan mempertimbangkan mutu buku.
2) Dalam hal Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing­masing belum menetapkan buku-buku teks pelajaran muatan lokal, rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah dapat memilih buku yang ada dengan mempertimbangkan mutu buku.

Pasal 7

1) Satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 paling sedikit 5 tahun.
2) Buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila:a. ada perubahan standar nasional pendidikan;b. buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri.

Pasal 8

1) Guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran.
2) Anjuran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan.
3) Untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtua/walinya membelinya di pasar.
4) Untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaannya.


Pasal 9


Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik.
Pasal 10

1) Pengadaan buku teks pelajaran, buku panduan guru, buku pengayaan dan buku referensi untuk perpustakaan yang dilakukan oleh satuan pendidikan wajib mendapat pertimbangan Komite Sekolah.
2) Untuk daerah yang pasar bukunya belum berkembang atau tidak berfungsi, pengadaan buku perpustakaan dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dapat membantu pengadaan buku teks pelajaran kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah uang/subsidi.


Pasal 11


1) Pengawasan terhadap pengadaan buku teks pelajaran dilakukan oleh pengawas fungsional, komite sekolah, dan/atau masyarakat.
2) Pengawas fungsional, komite sekolah, dan/atau masyarakat melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila menemukan penyimpangan dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Pasal 12

1) Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah yang terbukti memaksa dan/atau melakukan penjualan buku kepada peserta didik dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang­-undangan yang berlaku.
2) Penerbit yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa pencabutan rekomendasi hasil penilaian.

Pasal 13

Penulis yang bukunya diterbitkan oleh penerbit yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2 dapat mengalihkan hak ciptanya kepada penerbit lain.

Pasal 14


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2005

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO

Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan,


Muslikh, SH
NIP.131479478
Disalin dari : www.depdiknas.go.id

Sekolah Dilarang Terlibat Penjualan Buku Pelajaran

Masa Pakai Buku Wajib Lima Tahun
Jakarta, Kompas - Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan peraturan yang melarang tenaga pendidik, komite sekolah, dan satuan pendidikan atau sekolah terlibat penjualan buku kepada murid.
Sekolah yang masih terikat kontrak dengan penerbit buku pelajaran juga harus tetap mengikuti aturan baru tersebut. Selain itu, sekolah baik negeri maupun swasta wajib memberlakukan masa pakai buku teks pelajaran minimal lima tahun.
Demikian antara lain isi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yang disosialisasikan dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (26/7).
Hingga awal tahun ajaran 2005/2006, masih kerap ditemukan sekolah yang mengorganisir dan mewajibkan muridnya membeli buku pelajaran. Tak jarang sekolah mengikat kontrak dengan penerbit dengan kompensasi persentase komisi tertentu, bahkan terkadang disertai imbalan lain.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas Bahrul Hayat mengungkapkan, dengan keluarnya aturan itu guru sebatas menganjurkan peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran. Tidak boleh ada lagi paksaan. Murid yang mampu juga harus membeli buku di pasar.
Namun, untuk membantu peserta didik yang tidak mampu, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada tiap kelas. Buku tersebut dijadikan koleksi perpustakaan.
Pengadaan buku teks pelajaran, buku panduan guru, pengayaan dan buku referensi untuk perpustakaan yang dilakukan satuan pendidikan wajib mendapat pertimbangan komite sekolah. Untuk daerah yang pasar bukunya belum berkembang atau tidak berfungsi, pengadaan buku perpustakaan dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersangkutan.
Bahrul menambahkan, dalam rencana pemberian biaya operasional sekolah, komposisi penggunaan terbesar nantinya untuk pembelian buku pelajaran dan honor guru. Jadi, nanti sekolah dapat membeli buku teks pelajaran koleksi perpustakaan dari biaya operasional sekolah. Buku itu dapat diakses mereka yang tidak mampu, katanya.
Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal, aturan tersebut berlaku setelah ditetapkan pada 21 Juli lalu. Peraturan tersebut, kata Fasli, setidaknya dapat menjadi pegangan bagi orangtua murid dan masyarakat yang merasa diberatkan oleh persoalan buku pelajaran.
Mereka yang terbukti memaksa atau melakukan penjualan buku kepada peserta didik dapat dikenai sanksi sesuai perundang- undangan. Bahrul mengungkapkan, sanksi dapat berupa sanksi administratif atau bahkan pidana, bergantung bentuk pelanggarannya. Untuk pegawai negeri misalnya, dapat dikenai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Adapun bagi penerbit yang melanggar ketentuan dalam peraturan menteri tersebut dapat dikenai sanksi administratif oleh Mendiknas berupa pencabutan rekomendasi penilaian. (INE) Kompas 27 Juli 2005

Tuesday, July 26, 2005

Galakkan Penyadaran Audit di Persekolahan

Pemda dan Dewan Pendidikan Harus Jadi Pendorong

Jakarta, Kompas - Upaya mewujudkan manajemen persekolahan yang transparan dan akuntabel hendaknya diiringi penyadaran akan pentingnya mekanisme audit terhadap keuangan sekolah. Selama tidak diaudit, sekolah akan terus semena-mena memungut dana tanpa pertanggungjawaban pada publik.

”Sebagai bagian birokrasi yang secara otonom mengurus sektor pendidikan, pemda (pemerintah kabupaten/kota) seharusnya mendorong sekolah jadi sadar audit. Sebab, salah satu fungsi birokrasi adalah mendorong lahirnya iklim pelayanan lebih baik kepada masyarakat, bukan justru sebaliknya,” ujar Suyanto, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas di jakarta, Jumat (22/7).

Terkait dengan maraknya pungutan yang memberatkan orangtua siswa di awal tahun ajaran baru, Mendiknas Bambang Sudibyo pun berharap pemerintah kabupaten/kota menunjukkan kepeduliannya. Dalam era otonomi daerah, mestinya mereka proaktif membuat iklim yang mencerminkan perbaikan pelayanan, juga di pendidikan.

”Maraknya pungutan di sekolah-sekolah pada awal tahun ajaran baru ini merupakan bukti bahwa pemda belum berupaya membuat regulasi pendidikan yang berpihak pada semua lapisan masyarakat di wilayahnya,” katanya.

Tidak peduli

Lebih lanjut tentang pungutan di sekolah yang memberatkan orangtua siswa belakangan ini, Bambang bahkan menilai pemda tidak tanggap menyikapi kebijakan pendidikan gratis. Karena telanjur mendengar akan ada biaya operasional sekolah dari pemerintah pusat—yang ber sumber dari kompensasi BBM— pemda cenderung mulai tidak peduli terhadap pembiayaan pendidikan di wilayahnya. Padahal tanggung jawab itu juga dipikul oleh pemda.

”Malah ada kecenderungan pemda merelokasi dana APBD yang semula untuk pendidikan ke sektor lain,” ujar Bambang.

Dia mengakui, dana biaya operasional sekolah mestinya cair pada awal tahun ajaran baru 2005/2006. Namun karena mekanisme birokrasi di tingkat pusat berikut sosialisasi biaya operasional perlu proses dan waktu tersendiri, dana senilai Rp 6,2 triliun itu tak serta-merta cair.

Tentang pentingnya pungutan uang sekolah yang proporsional dan perlunya pengelolaan dana yang transparan, Suyanto menggugah pemda dan dewan pendidikan di tiap kabupaten/kota dan provinsi untuk turun tangan. Sebagai bagian dari birokrasi pendidikan, peran pemda untuk menggalakkan kesadaran audit di sekolah sangat tepat. Demikian pula dengan dewan pendidikan yang memang menghimpun stakeholders (pihak berkepentingan) bidang pendidikan. (NAR) Kompas Sabtu, 23 Juli 2005

Sumber online : www.depdiknas.go.id